PENGAKUAN PANCASILA 1 JUNI 1945, PENGAKUAN TENTANG SUMBER, ASAL MULA GAGASAN PANCASILA
Visi kita bernegara termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alenia kedua bahwa perjuangan menuju kemerdekaan adalah agar kita semua: “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Untuk mewujudkan visi tersebut dibutuhkan kemauan dan kemampuan kita untuk bekerjasama di dalam segala ragam perbedaan yang ada. Persatuan menjadi kunci. Dalam suasana kehidupan yang diliputi oleh perpecahan, bila hidup kita dipenuhi prasangka, dan ketiadaan rasa saling percaya, kerjasama membangun negara menjadi tidak mungkin dilakukan.
Kunci keberhasilan membina persatuan tergantung pada diri kita sendiri, yaitu para warga negara, termasuk para hadirin dalam ruang kongres ini. Dapatkah kita membangun dan menciptakan aturan permainan demokratis yang semakin matang? Dapatkah kita memperbaiki bekerjanya institusi-institusi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan kita agar lebih tanggap menghadapi tantangan jaman dan kebutuhan mengelola keragaman dan perbedaan? Tak kalah penting, dapatkah kita, sebagai individu maupun kelompok, mempertinggi, yaitu meningkatkan standar etik, moral dan integritas kita dalam sistem kerjasama agar persatuan kita semakin kuat dan bermakna?
Pancasila menjadi penting dalam semua usaha ini. Kita dapat belajar tentang metode kerjasama dan cara mengembangkan persatuan bangsa melalui sejarah Pancasila. Bung Karno adalah orang yang telah membuktikan dengan gagasannya berupa Pancasila. Sejak muda, dan seperti yang dapat dibaca dalam kesaksiannya selama pembuangan di Ende pada pertengahan dan akhir tahun 1930an, ia telah mengenali keragaman dan kemajemukan bangsanya. Tidak mengherankan bahwa ketika sidang BPUPK untuk menanggapi pertanyaan ketua Sidang, tentang apa dasar negara yang akan dibentuk? Bung Karno pada Pidato 1 Juni 1945 mengajukan proposal, sebuah usul untuk menjawab permintaan ketua Sidang BPUPK dengan cara pertama-tama memikirkan apa yang menjadi kepedulian orang-orang lain. Bung Karno berpikir dari sudut pandang bukan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan banyak orang yang berbeda dari dirinya sendiri dan kelompoknya.
Kita sekarang telah mengakui kembali Pancasila 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila. Pengertian ini tidak perlu dipertentangkan dengan Pancasila 18 Agustus 1945, karena hakikat Pancasila adalah sama, sebagai produk nalar publik, bahwa Pancasila 18 Agustus juga melibatkan proses bernalar atau menimbang secara publik, baik oleh Sukarno maupun para aktor pendiri negara di saat itu.
Maka, pengakuan terhadap Pancasila 1 Juni adalah pengakuan bahwa setiap kita menghadapi problem berbangsa dan bernegara, ada baiknya kita mengingat kembali ke sumbernya, ke asal dimana gagasan itu bermula. Kita menerima ide bahwa Pancasila 1 Juni adalah karena alasan ini. Agar sumber, asal muasal Pancasila, tetap kita kenali. Tafsir dan interpretasi ke depan mungkin berkembang, tetapi ketika kita menghadapi kebuntuan, kembalilah kepada sumber, merujuklah ke sana. Kelak, setelah Sukarno mencetuskan formula Pancasila, makna persatuan Pancasila sebagai satu kesatuan itu diperkenalkan Prof. Notonagoro dalam teorinya yang banyak dipelajari oleh mahasiswa UGM tentang “Hirarki Piramida Pancasila,” untuk mengatakan bahwa sila-sila Pancasila tidak dapat dipahami secara terpisah, terlepas dari sila sila lainnya.
Perjuangan para pendahulu kita dalam menentang kolonialisme adalah demi merontokkan struktur yang membeda-bedakan warga negara, menolak struktur anti-kesetaraan dan anti-kebebasan dan ingin menjadi merdeka dari struktur kolonial yang tidak menjamin keadilan. Sayangnya, dalam kehidupan kita hingga saat ini masih terjadi relasi kuasa yang tidak seimbang, sebagian warga negara ada yang merasa superior sebagai kelas pertama dan sebagian yang lain menjadi warga kelas dua. Ini bertentangan dengan semangat, sumber awal kita hendak mendirikan negara yang semangatnya adalah: satu untuk semua, semua untuk satu. Tak seorangpun boleh tertinggal di negara ini!
Munculnya sejumlah organisasi atau masyarakat sipil yang tidak sipil (uncivil civil society) menjadi tantangan penting untuk masyarakat demokrasi dan masyarakat Pancasila kita hari hari ini. Sebuah negara yang dipenuhi oleh sikap-sikap yang tidak sipil, dan penuh kebencian akan memecahkan sendi-sendi persatuan bangsa yang telah dibangun bersama-sama, menjadikan lingkungan tidak sehat, merusak dan beracun, tidak menciptakan kemajuan, produktifitas dan peradaban yang tinggi. Kebebasan mengungkapkan pikiran, dan keyakinan perlu diberi tempat, kita lindungi dan kita beri salurannya, agar ide-ide dan kreatifitas bisa mengalir dengan bebas. Tetapi dalam menjalankan hak bersuara ini, lakukanlan secara sipil, dengan cara yang elegan dan beradab. Dalam mengelola perbedaan, maka tidak perlu mencari kunci di rumah tetangga, tetapi kita perlu kembali ke tempat asal, bahwa kuncinya (Pancasila) ada di rumah kita yang bernama Indonesia.