Arti Penting Filsafat Ilmu Berparadigma Pancasila bagi Pengembangan Ilmu di Perguruan Tinggi

“Kiranya sulit membayangkan pengembangan ilmu di perguruan tinggi, tanpa mengembangkan filsafat ilmunya,” demikian ungkapan Dr. Andi Muhammad Akhmar, S.S., M.Hum. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin  saat membuka Kuliah Umum yang diselenggarakan di Gedung Mattulada, FIB Unhas, 12 Oktober 2018. Kegiatan ini merupakan bentuk kerjasama antara Universitas Gadjah Mada khususnya Fakultas Filsafat UGM dengan Universitas Hasanuddin khususnya Fakultas Ilmu Budaya. Akhmar menambahkan, “Kuliah umum kita kali ini menarik, karena bukan saja kita akan membahas filsafat ilmu secara umum, namun yang akan dibahasa adalah filsafat ilmu yang berparadigma Pancasila. Untuk itu dihadirkan dosen tamu Dr. Heri Santoso, dosen Fakultas Filsafat, sekaligus Kepala Pusat Studi Pancasila UGM”. Kuliah umum ini dihadiri ratusan peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa S1, S2 dan S3.

Mengawali paparannya Heri Santoso menunjukkan beberapa contoh kasus-kasus aktual dan perenial yang dihadapi perguruan tinggi di Indonesia dewasa ini, antara lain perguruan tinggi dihadapkan pada tantangan revolusi industri 4.0, era disruptif, pergulatan modernisme dan postmodernisme, gerakan globalisasi vs internalisonalisasi, isu kematian ideologi, kematian ilmu, kematian universitas atau perguruan tinggi, Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), isu krisis jati diri perguruan tinggi, isu moratorium ilmu sosial humaniora bahkan isu beberapa perguruan tinggi terpapar radikal, dll. Sejumlah isu di atas, kiranya memerlukan penyelesaian yang bersifat kritis, rasional, mendasar dan komprehensif. Pendekatan demikian sering dikenal sebagai pendekatan yang bersifat filosofis.

Khusus pengembangan keilmuan di perguruan tinggi, Heri menunjukkan bahwa pasca Reformasi, pengembangan ilmu di Indonesia, khususnya ilmu sosial humaniora diindikasikan mengalami krisis, krisis itu antara lain diungkapkan oleh alm. Prof. Mubyarto yang menyebutkan ilmu ekonomi yang dikembangkan di Indonesia sesat dan tidak relevan. Sesat karena ilmu yang dikembangkan menumbuhkan semangat mengejar materi dan keuntungan yang bersifat egois, sementara tidak relevan karena ilmu yang dikembangkan tidak berangkat dari persoalan dan keranga berpikir Indonesia, sehingga tidak relevan bahkan ahistoris. Filsafat ilmu yang berparadigma Pancasila, menurut Heri, kiranya relevan untuk dikembangkan karena filsafat ilmu akan menuntun ilmuwan untuk memahami hakikat keilmuan baik pada tataran ontologis/metafisis, epistemologis dan metodologis, dan aksiologis yang bersumber pada masalah dan cara pandang orang Indonesia.

Heri mencontohkan, dengan ilmu-ilmu empiris rasional sebagaimana diajarkan selama ini di perguruan tinggi, dapatkah kita memahami bahwa bencana yang terjadi di Lombok, Palu, dan Donggala akhir-akhir ini bukan sekedar masalah fenomena alam, melainkan juga terkait dengan masalah moral dan keagamaan? Selama ilmu yang dikembangkan itu dibangun atas dasar keyakinan sekularistik bahkan ateistik, kiranya sulit menghubungan ilmu dengan moral keagamaan. Filsafat ilmu berparadigma Pancasila, adalah filsafat ilmu yang dikembangkan oleh orang-orang Indonesia yang meyakini kebenaran dan kekuasaan Tuhan, kebenaran kitab suci dan ajaran para nabi. Untuk itulah Heri mengajak para sivitas akademika untuk berani mengembangkan filsafat ilmu yang berparadigma Pancasila, yang menggambarkan karakteristik pemilihan dan penentuan masalah, pemilihan kerangka pikir dan penyelesaiannya berdasarkan kerangka pikir keindonesiaan yang religius-toleran, humanis, nasionalis, merakyat, dan pada ujungnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

karena mengangkat tema filsafat ilmu yang berparadigma Pancasila. Artinya, disadari bersama bahwa di dalam filsafat ilmu ada banyak aliran pemikiran atau paradigma, yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana model filsafat ilmu yang berparadigma Pancasila.